BAB 7 Manusia Dan Keadilan
Keadilan menurut
Aristotcles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan
sebagai titik tengah diantara ke dua ujung. Kedua ujung ekstern itu menyangkut dua orang atau benda. Bila
kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan,
maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. kalau
tidak sama, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama,
sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidak adilan.
Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan
bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan
kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan
kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang
memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama
dari kekayaan bersama.
Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk
tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita hanya
menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban, maka sikap dan tindakan kita akan
mengarah pada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya pula jika kita
hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak, maka kita akan mudah
diperbudak atau diperas orang lain.
Berbicara tentang keadilan, Anda tentu ingat akan
dasar negara kita ialah Pancasila. Sila kelima Pancasila, berbunyi : “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dalam dokumen lahirnya Pancasila diusulkan oleh
Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara.
Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip “tidak ada kemiskinan di
dalam Indonesia merdeka”. Dari usul dan penjelasan itu nampak adanya pembauran
pengertian kesejahteraan dan keadilan.
Bung Hatta dalam uraiannya mengenai sila “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menulis sebagai berikut “ keadilan
sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil
dan makmur.” Langkah-langkah menuju kemakmuran
yang merata diuraikan secara terperinci
Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara
1966 memberikan perumusan sebagai berikut :
“Sila
keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan
mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan
kebudayaan”
Dalam ketetapan MPR RI No.II/MPR/1978
tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (ekaprasetia pancakarsa)
dicantumkan ketentuan sebagai berikut : Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan
keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia’'.
Selanjutnya
untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu
dipupuk, yakni :
1)
perbuatan
luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan ke gotong royongan.
2)
Sikap adil
terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
menghormati hak-hak orang lain.
3)
sikap suka
memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan
4)
sikap suka
bekerja keras
5)
sikap
menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan
kesejahteraan bersama
Asas yang
menuju dan terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam berbagai
langkah dan kegiatan, antara lain melalui delapan jalur pemerataan, yaitu : 1)
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang
dan perumahan. (2) pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
(3) pemerataan pembagian pendapataan (4) pemerataan kesempatan kerja. (5) pemerataan
kesempatan bemsaha (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan
khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita. (7) pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh wilayah tanah air. (8) pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan.
A) Keadilan Legal atau Keadilan Moral
Plato berpendapat bahwa
keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang
membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang
menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Tha man
behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto
menyebutnya keadilan legal.
Keadilan
timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras
kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat
melakukan fungsinya secara baik
menurut kemampuannya. Fungsi
penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing
orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan
urusan yang tidak cocok baginya.
Ketidakadilan
terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan
tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan
ketidak serasian.
B. Keadilan Distributif
Aristoteles
berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice
is done when equals are treated equally).
C. Keadilan Komutatif
Keadilan
ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi
Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban
dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan
ketidakadilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam
masyarakat.
Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang
sesuai dengan hati nuraninya apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang
ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur
juga berarti seseorang bersih hatinya dan perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh agama dan hukum. Barangsiapa
berkata jujur serta bertindak sesuai dengan kenyataan, artinya orang itu
berbuat benar.
Pada
hakekatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi,
kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut
terhadap kesalahan atau dosa.
Kejujuran
bersangkutan erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah dalam bukunya Budi
Nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada
dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan
dalam meneropong kebenaran lokal maupun kebenaran Illahi. (M.Alamsyah,
1986:83).
Bertolak
ukur hati nurani, seseorang dapat ditebak perasaan moril dan susilanya, yaitu
perasaan yang dihayati bila ia harus menentukan pilihan apakah hal itu baik atau
buruk, benar atau salah. Hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma
kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi
manusia jujur.
Berbagai
hal yang menyebabkan orang berbuat tidak jujur, mungkin karena tidak tela,
mungkin karena pengaruh lingkungan, karena sosial ekonomi, terpaksa ingin
populer, karena sopan santun dan untuk mendidik.
Dalam kehidupan sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan
bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri. Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara dan sikap
periu dipupuk.
Namun demi sopan santun dan pendidikan, orang diperbolehkan berkata
tidak jujur sampai pada batas-batas yang dapat dibenarkan.
Kecurangan atau curang identik dengan ketidakjujuran ataii
tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah
tentu kecurangan sebagai lawan jujur.
Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak
sesuai dengan hati nuraninya. Atau, orang itu memang dari hatinya sudah beniat
curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak,
ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai
orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat disekelilingnya
hidup menderita. Orang seperti itu biasanya tidak senang bila ada yang melebihi
kekayaannya. Padahal agama apapun tidak membenarkan orang mengumpulkan harta
sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan orang lain, lebih lagi mengumpulkan harta
dengan jalan curang. Hal semacam itu dalam istilah agama tidak diridhai Tuhan.
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup.
Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati
agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bergai
orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai
harganya.
Ada peribahasa berbunyi “daripada berputih mata
lebih baik berputih tulang” artinya orang lebih baik mati dari pada malu.
Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa menjadi taruhannya. Setiap
orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya “jagalah nama keluargamu!” Dengan
menyebut “nama” berarti sudah mengandung arti “nama baik”.
Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan
tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu
adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan
perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin
pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan
lain sebagainya.
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan
nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu :
a)
manusia
menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral
b)
ada
aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan
dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.
Pada hakekatnya, pemulihan nama baik adalah
kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang diperbuatnya tidak
sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan ahlak.
Ahlak berasal dari bahasa Arab akhlaq bentuk
jamak dari khuluq dan dari akar kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena
itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya
sebagai manusia. Untuk itu, orang hams bertingkah laku dan berbuat sesuai
dengan ahlak yang baik.
Ada tiga macam godaan yaitu derajat/pangkat,
harta dan wanita. Bila orang tidak dapat menguasai hawa nafsunya, maka ia akan
terjerumus ke jurang kenistaan karena untuk memiliki derajat/pangkat, harta dan
wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain,
fitnah, membohong, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang
diharamkan.
Hawa nafsu dan angan-angan bagaikan sungai dan
air. Hawa nafsu yang tidak tersalurkan melalui sungai yang baik, yang benar,
akan meluap kemana-mana yang akhirnya sangat berbahaya. menjerumuskan manusia ke
lumpur dosa.
Ada godaan halus, yang dalam bahasa jawa, adigang, adigung,
adiguna, yaitu membanggakan kekuasaan, kebesarannya dan kepandaiannya. Semua
itu mengandung arti kesombongan.
Untuk memulihkan nama baik, manusia harus tobat atau minta
maaf.Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir, melainkan harus bertingkah laku
yang sopan, ramah, berbuat budi darma dengan memberikan kebajikan dan
pertolongan kepada sesama hidup yang perlu ditolong dengan penuh kasih sayang,
tanpa pamrih, takwa kepada Tuhan dan mempunyai sikap rela, tawakal, jujur, adil
dan budi luhur selalu dipupuk.
G. PEMBALASAN
Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain,
reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serapan, perbuatan yang seimbang, tingkah
laku yang serapan, tingkah laku yang seimbang.
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa
Tuhan mengadakan pembalasan. Bagi yang bertakwa kepada Tuhan diberikan
pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah Tuhanpun diberikan pembalasan dan
pembalasan yang diberikanpun pembalasan yang seimbang, yaitu siksaan di neraka.
Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang
bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebaliknya, pergaulan yang penuh
kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula.
Pada
dasarnya, manusia adalah mahluk moral dan mahluk sosial.
Oleh karena tiap manusia tidak menghendaki hak
dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berasaha mempertahankan
hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah
pembalasan.
Comments
Post a Comment