Manusia Unggul
Buku Stephen R Covey
berjudul The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness setidaknya menjadi pemicu
diskusi tentang manusia unggul yang berbudaya akhir-akhir ini. Para cerdik
cendekia pun ribut mencari apa yang sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa
memang ada keunggulan itu. Tidak main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu
menyampaikan kepada rakyatnya untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini.
Dalam maksud yang
sederhana, budaya unggul akan bisa memulihkan harga diri dan martabat bangsa
ini menjadi bangsa yang tidak mudah dilecehkan dan diharapkan mampu mengatasi
krisis berkepanjangan dan seterusnya. Jika budaya unggul bisa didiskusikan
bersama seiring dengan manusia unggul, setidaknya apa yang dinyatakan oleh
Covey sebagai manusia dengan predikat greatness membawa ingatan kita pada apa
yang oleh filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), dinyatakan
sebagai uebermensch yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai
superman. Kebudayaan merupakan identitas dari manusia.
Untuk melahirkan manusia unggul yang berbudaya, terlebih dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis. Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih (over).
Untuk melahirkan manusia unggul yang berbudaya, terlebih dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis. Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih (over).
Beberapa orang
menafsirkan ajaran uebermensch Nietzsche sebagai anjuran untuk memproduksi
jenis manusia yang unggul dalam mengatasi kemampuan manusia lain. Namun, dalam
konteks ini saya kira lebih tepat membaca uebermensch Nietzsche sebagai anjuran
untuk melahirkan manusia unggul dengan cara melahirkan dirinya untuk
terus-menerus menjadi manusiawi. Kata ueber, dalam bahasa Jerman mempunyai dua
pengertian yang dalam bahasa Inggris bisa diasosiasikan menjadi kata super atau
over.
Dalam pengertian ini,
Ignas Kleden (2004) menyatakan bahwa manusia hanya akan berhasil menjadi
manusia melalui proses ueberwindung atau overcoming (dalam bahasa Inggris).
Anjuran untuk berproses menjadi manusia unggul sudah dinyatakan dengan amat
jelas dalam Also Sprach Zarathustra. Jelas sekali ketika Nietzsche menulis
bahwa pertanyaan pertama dan satu-satunya yang dianjurkan oleh Zarathustra
adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden (bagaimana caranya manusia mengatasi
manusia).
Pengertiannya, untuk
lahir sebagai superman, manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya sebagai
manusia. Untuk menjadi manusia unggul, manusia harus bisa meningkatkan dirinya dari
sekadar manusiawi (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Manusia unggul
keluar dari proses dinamis dan penuh tantangan, manusia yang bisa menggunakan
kehendak dan kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche adalah filsuf
yang begitu yakin bahwa manusia harus berdiri di atas sifat-sifat konkretnya.
Manusia bukanlah suatu
konsep abstrak sebagaimana dipahami oleh kaum idealis atau juga kaum
materialis. Keduanya sering melahirkan pandangan-pandangan dunia yang bersifat
statis. Padahal, hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan sesuatu yang dinamis
dan bergerak terus-menerus. Bukankah Nietzsche sendiri menyatakan, man is
something that is to be surpassed (Manusia adalah sesuatu yang harus
dilampaui). Atau dengan yakin ia menyatakan, what is great in man is that he is
a bridge and not a goal; what is lovable in man is that he is an over- going
and down-going (Apa yang agung dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah
jembatan dan bukan tujuan; apa yang patut dicinta dalam diri manusia adalah
bahwa dia adalah perjalanan naik dan turun).
Melahirkan manusia
unggul jangan disalahpahami hanya dengan pengertian meloloskan siswa-siswa
berprestasi yang mampu merengkuh juara olimpiade fisika, matematika, atau
kimia. Menjadi manusia unggul biasa dialami oleh siapa saja yang mampu
mengatasi kediriannya menuju kedirian yang lebih. Sifat serakah dan senang
korupsi adalah manusiawi dan bahkan menjadi bagian tak terpisah dari manusia.
Untuk lahir menjadi manusia unggul, seseorang harus bergerak untuk memperbarui kemanusiawiannya
menjadi lebih manusiawi dengan menjelma menjadi manusia yang tidak serakah dan
senang korupsi.
Seorang pejabat akan
bernilai lebih jika setiap saat dia berhasil mengawasi dan menekan nafsu
korupsinya. Dalam mengarungi bahtera kehidupan yang nyata itulah manusia diberi
kuasa untuk memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia harus menciptakan
nilai-nilai untuk dirinya sendiri pada saat perjalanan kehidupan tersebut.
Di sini dapat dipahami
mengapa Nietzsche amat membenci pada mereka yang mudah menyerahkan diri pada
skema nilai-nilai yang diciptakan di luar dirinya sendiri. Nietzsche menyebut
mereka sebagai “manusia bermoral gerombolan” atau “bermoral budak”. Mereka
adalah para pengecut yang hanya bisa berlindung di balik nilai-nilai yang menjerat
kedigdayaannya.
“The ignorant, to be sure, the people-they are like a river on which a boat floateth along; and in the boat sit the estimates of value, solemn and disguised”. Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran.
“The ignorant, to be sure, the people-they are like a river on which a boat floateth along; and in the boat sit the estimates of value, solemn and disguised”. Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran.
Manusia unggul, jika
mau merujuk pada Nietzsche, bisa lahir dan dilahirkan dari manusia yang tak
lagi menggantungkan diri segala tekanan dari luar. Dengan tidak memperpanjang
segala kontroversi pendapat Nietzsche, budaya unggul dalam perspektif ini bisa
dijadikan rujukan untuk mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan yang
hancur di tengah keserakahan modal, penguasa, utang luar negeri, bahkan
terorisme.
Disini saya akan mengambil
contoh manusia yang unggul baik dari segi prestasinya di dunia, dan budayanya
yang dia pegang. Beliau salah satu manusia yang unggul terutama dalam
kebudayaan, dan keseniannya. Beliau berasal dari Temanggung dan beliau seorang
penari tradisional maupun internasional yang mampu mengharumkan indonesia di
dunia. Ya beliau adalah Mas Didik Hadiprayitno atau lebih di kenal Mas Didik Nini
Thowok. Lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954; umur 56 tahun.
Beliau adalah penari, koreografer, komedian, pemain pantomim, penyanyi, dan
pengajar. Banyak penghargaan telah diberikan kepada Didik Nini Thowok seluruh
karya-karyanya dan gaya yang unik dalam menggabungkan klasik, folk, tari modern
dan komedi. Banyak penghargaan telah diberikan kepada Didik Nini Thowok seluruh
karya-karyanya dan gaya yang unik dalam menggabungkan klasik, folk, tari modern
dan komedi. Beberapa koreografi aslinya sangat terkenal di Indonesia. Selain
melakukan koreografi sendiri asli, ia juga memiliki keahlian yang luar biasa
dalam melakukan berbagai tari tradisi seperti Topeng (topeng), Sunda, Cirebon,
Bali, dan tentu saja Jawa Tengah. Selama karirnya, ia belajar menari kepada
lebih dari 23 guru tari, seperti Ni Ketut Sudjani, I Gusti Gde Raka, Rasimoen,
Sawitri, Ni Ketut Reneng, Kamini, Bagong Kussudiardjo, BRAy Yodonegoro,
Sangeeta, Richard Emmert, Sadamu Omura, Jetty Roels, Gojo Masanosuke, serta
beberapa nama maestro lain dari berbagai negara. Tak heran Didik menjadi begitu
menguasai seni tari, terutama yang berbasis tradisi.
Masa Kecil Didik Nini Thowok
terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Karena sakit-sakitan orang tuanya
mengubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ayah Didik, Kwee Yoe Tiang, merupakan
seorang peranakan Tionghoa yang "terdampar" di Temanggung sedangkan
ibunya, Suminah, adalah wanita Jawa asli, asal Desa Citayem, Tjilatjap. Didik
adalah sulung dari lima bersaudara (keempat adiknya perempuan). Setelah
G30S/PKI, keturunan Tionghoa diwajibkan mengganti nama Tionghoa mereka menjadi
nama pribumi sehingga nama Kwee Tjoen An pun menjadi Didik Hadiprayitno.
Kehidupan masa kecil Didik penuh keprihatinan. Ayahnya bisnis jual beli kulit
kambing dan sapi. Ibunya membuka kios di Pasar Kayu. Hidup bersama mereka
adalah kakek dan nenek Didik. Maka keluarga Didik harus hidup pas-pasan.
Sebagai anak dan cucu pertama, Didik selalu dimanja oleh seluruh anggota
keluarga.
Selain itu, Didik tidak nakal
seperti kebanyakan anak laki-laki seumurannya. Ia cenderung seperti anak
perempuan dan menyukai permainan mereka, seperti pasar-pasaran (berjualan),
masak-masakan, dan ibu-ibuan. Saat kecil pun Didik diajari oleh neneknya
ketrampilan perempuan seperti menjahit, menisik, menyulam, dan merenda. Belajar
Menari Saat masih sekolah, Didik suka menggambar dan menyanyi (suaranya bagus
terutama saat menyanyi tembang Jawa). Namun setelah mengenal dunia tari akibat
sering menonton pertunjukan wayang orang yang berupa sendratari, Didik pun
bertekad untuk mempelajari tari. Sayangnya perekonomian keluarga yang pas-pasan
menyulitkan langkah Didik untuk belajar. Akhirnya Didik meminta teman
sekelasnya Sumiasih, yang pandai menari dan nembang, untuk mengajarinya
tari-tarian wayang orang. Menari bukan hal yang sulit dilakukan, karena selain
tubuhnya yang lentur, Didik juga berbakat. Guru Didik berikutnya adalah Ibu
Sumiyati yang mengajarinya dan ketiga adiknya, tari Jawa klasik gaya Surakarta.
Didik membayar guru ini dari hasil menyewakan komik warisan kakeknya. Didik
juga belajar tarian Bali klasik dari seorang tukang cukur rambut. Didik berguru
pada A. M. Sudiharjo, yang pandai menari Jawa Klasik juga sering menciptakan
tari kreasi baru. Didik ikut kursus menari di Kantor Pembinaan Kebudayaan
Kabupaten Temanggung. Salah satu gurunya adalah Prapto Prasojo, yang juga
mengajar di padepokan tari milik Bagong Kussudiarjo di Yogyakarta. Koreografi
tari ciptaan Didik yang pertama dibuat pada pertengahan 1971. Tarian itu diberi
judul “Tari Persembahan”, yang merupakan gabungan gerak tari Bali dan Jawa.
Didik tampil pertama kali sebagai
penari wanita; berkebaya dan bersanggul saat acara kelulusan SMA tahun 1972.
Saat itu, didik juga mempersembahakan tari ciptaannya sendiri dengan sangat
luwes. Kuliah Setelah lulus SMA, impian Didik untuk melanjutkan kuliah di ASTI
Yogyakarta terbentur pada biaya. Didik pun bekerja, tak jauh dari kesukaannya,
menari. Didik menjadi pegawai honorer di Kabin Kebudayaan Kabupaten Temanggung
dengan tugas mengajar tari di beberapa sekolah (SD dan SMP), serta memberi les
privat menari untuk anak-anak di sekitar Temanggung. Dua tahun setelah lulus
SMA, Didik bertekad untuk kuliah di ASTI. Berbekal uang tabungannya, Didik
berangkat ke Yogyakarta dan mendaftar di ASTI. Berkat Tari Manipuri, tarian
wanita yang diperagakannya dengan begitu cantik, Didik berhasil memikat tim
juri ASTI. Sehingga Didik diterima dan dinyatakan sebagai mahasiswa ASTI
angkatan 1974. Pribadinya yang hangat, kocak dan santun tak menyulitkan Didik
untuk mendapat teman. Bersama teman-teman barunya, Didik menampilkan fragmen
tari berjudul Ande-ande Lumut.
Didik berperan sebagai Mbok Rondo
Dadapan, janda centil dari Desa Dadapan. Penampilan Didik sangat memukau
mahasiswa ASTI yang lain. Menjadi anak kost sangat sulit bagi Didik, karena tak
mungkin mengharapkan kiriman dari rumah. Ketrampilan 'perempuan' yang dulu
diajarkan neneknya terasa sangat berguna. Didik menerima pesanan membuat hiasan
bordir, juga menjual hasil kerajinannya, seperti syal dan taplak meja. Beberapa
bulan setelah mulai kuliah, Didik menerima tawaran dari kakak angkatannya,
Bekti Budi Hastuti (Tutik) untuk membantu dalam fragmen tari Nini Thowok
bersama Sunaryo. Nini Thowok atau Nini Thowong adalah semacam permainan
jailangkung yang biasa dimainkan masyarakat Jawa tradisional. Pementasan ini
sangat sukses. Kesuksesannya membawa trio tersebut pentas diberbagai acara.
Merekapun mengemas pertunjukan mereka dengan konsep yang lebih matang. Saat
Sunaryo mengundurkan diri, posisinya digantikan Bambang Leksono Setyo Aji,
teman sekos Didik. Mereka lantas menyebut kelompok mereka sebagai Bengkel Nini
Thowok. Dan di belakang nama mereka melekat nama tambahan Nini Thowok (berarti:
"nenek yang menyeramkan").
Setelah itu, karier Didik Nini
Thowok sebagai penari terus berlanjut, bahkan Didik sering muncul di televisi.
Didik terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke mana-mana. Didik
berguru langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde Raka, di Gianyar. Ia juga
mempelajari tari klasik Sunda dari Endo Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya
Palimanan yang dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat
pergi ke Jepang, Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia
pun belajar tari Flamenco. Karier Setelah menyelesaikan studinya dan berhak
menyandang gelar Didik Hadiprayitno, SST (Sarjana Seni Tari), Didik ditawari
almamaternya, ASTI Yogyakarta untuk mengabdi sebagai staff pengajar. Selain
diangkat menjadi dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di
Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogya. Filmografi Jagad X Code (2009)
Preman In Love (2009) Penghargaan Penghargaan yang pernah diraih oleh didi nini
towok adalah sebagai berikut :
·
Soedarpo Award by the Rotary Foundation Rotary
International District 3400 (2005)
·
Kala Award by the Governor of Yogyakarta Special
Territory (2002)
·
Indonesian Consulate of Kobe, Japan (1998)
·
Sultan Haji Hassanal Bolkiah, Brunei Darussalam (1992)
·
Javanese Cultural Society of Surakarta (1993)
·
Yogyakarta Tourism Department (2000)
·
Indonesian Student Association of Newcastle, Great
Britain (1994)
·
Cultural Award, Governor of Yogyakarta (1991)
·
Indonesian Student Association of Hiroshima, Kansai,
Japan (1999)
·
Journalist Association of Yogyakarta (1993)
·
First Place Award, Ceremonial Make-up Competition,
Yogyakarta (1977)
·
Indonesian Student Association of Belgium (1991)
·
Honors Student, Ministry of Education and Culture,
Indonesia (1976)
Tarian yang dihasilkan
·
Dewi Sarak Jodag Koreografi : Didi NIni Thowok Penari
: Didi Nini Thowok Durasi : 19 minutes Kisah Dewi Sarak Jodag diambil dari
cerita Raden Panji. Menceritakan tentang Dewi Sarak Jodag ( adik dari Raja
Klana ). Karena jatuh cinta pada Raden Panji, Ia merubah dirinya menjadi Dewi
Chandrakirana , Istri Raden Panji. Tapi Raden Panji mengetahu tipu daya Dewi
Sarak Jodag dan menolaknya. Karena merasa malu, ia berubah menjadi sosok yang
mengerikan sebagai perwijudan dari rasa malu, marah dan derita. Dalam tarian
ini, perubahan karakater dipertihatkan dari penggunaan topeng dan dibumbui
sedikit unsur komedi.
·
Tari Persembahan Merupakan gabungan gerak tari Bali
dan tari Jawa. Inilah tarian pertama yang diciptakan Didik, yang ternyata
menjadi awal dari sekian banyak kreasi tari yang diciptakannya di masa depan
·
Tari Batik Di sinilah untuk pertama kalinya Didik
tampil sebagai penari wanita. Berkebaya dan bersanggul, dengan luwes ia
memamerkan gerakan-gerakan tari yang juga merupakan hasil karyanya sendiri itu
·
Tari Dwimuka Tari Dwimuka terinspirasi dari sebuah
film dimana salah satu tokohnya menggunakan topeng di belakang kepalanya. Tari-tarian
Didik biasanya penuh dengan atraksi komedi, yang mengundang decak kagum dan
keceriaan penonton.
·
Tari Dwimuka Jepindo 1999
·
Tari Kuda Putih tahun 1987
·
Tari Topeng Nopeng tahun 1988
·
Tari Topeng Walang Kekek ditahun 1980
Kesimpulan
Kecerdasan Emosional Tidak
Muncul Begitu Saja. Kecerdasan Emosional Adalah Hasil Dari Segala Kebaikan
Diri, Pikiran Positif, Kerja Keras, Dedikasi Kepada Keseimbangan Hidup Yang Tak
Pernah Terhenti Oleh Badai Kehidupan Apa Pun. Dan hasil dari semua itu akan
muncul lah manusia yang unggul baik dari budaya, agama, maupun kehidupannya.
Sumber Biografi Didi Nini Thowok:
http://idadhoe.blogspot.co.id/2011/11/biografi-lengkap-didi-nini-thowok.html
Comments
Post a Comment